Setelah kita mengetahui bahwa wabah corona ini bukanlah wabah pertama yang menimpa dunia secara umum. Dan dunia Islam secara khusus. Bahkan dalam perjalanan sejarah umat Islam yang telah kita baca di artikel sebelumnya, wabahnya beragam. Ada yang disebabkan bangkai manusia akibat genosida Mongol, kelaparan, kekeringan, dll. Lalu bagaimana pengaruh wabah tersebut terhadap kehidupan kaum muslimin di zaman itu dan bagaimana cara mereka menyikapi wabah-wabah tersebut?

Dampak Wabah Terhadap Kondisi Sosial Masyarakat, Politik, dan Psikologis

Ketika thaun dan wabah melanda suatu negeri, dapat dipastikan dampak buruk yang besar akan dihadapi negeri tersebut. Ini adalah musibah dari Allah yang Dia timpakan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan akan Dia angkat juga dengan kehendak-Nya.

وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Quran Yunus: 107].

Di antara wabah yang berdampak besar pada kaum muslimin adalah wabah Thaun Amwas. Sekitar 25000 nyawa kaum muslimin hilang. Di antara mereka adalah tokoh-tokoh terbaiknya. Wabah ini menimbulkan kerugian dari sisi politik, ekonomi, dan militer. Seandainya saat itu Romawi melakukan penyerangan terhadap garis depan kaum muslimin, tentu saja kaum muslimin akan sangat kesulitan menghadapi mereka. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap menjaga kaum muslmin dengan memberikan rasa takut di hati mereka. Ya, mereka pun takut tertular wabah tersebut (Ali Muhammad ash-Shalabi: Sirah Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab Syakhshiyatihi wa ‘Ashrihi, 2005. Hal: 232).

Dampak sosial kemasyarakatan begitu terasa ketika wabah melanda wilayah-wilayah Daulah Mamluk. Kondisi demografi berubah drastis. Jumlah kepadatan penduduk di kota dan di desa sangat jomplang. Sebagian desa bahkan kosong sama sekali karena kehilangan penduduknya. Akibatnya, jumlah petani sangat sedikit. Hasil pertanian dan peternakan pun merosot drastis. Lalu dampak buruk itu menular pada sisi perekonomian.

Kekacauan pun kian menjadi. Yang memiliki komoditi yang dibutuhkan menaikkan harga. Mereka memonopoli perdagangan dan mencari kesempatan untuk memperkaya diri. Adapun orang-orang yang tidak mampu meresponnya dengan negatif pula. Mereka melakukan pencurian dan perampokan. Semakin rusaklah tatanan masyarakat.

Dalam kondisi kacau tersebut, negara pun telah kehilangan para ulama dan orang-orang shalih yang memberi nasihat. Mereka wafat karena wabah. Suara mereka yang dianggap masyarakat tak lagi terdengar. Masyarakat awam pun beralih ke para dukun dan peramal untuk mengisi kekosongan spiritual mereka (Mubarak Muhammad ath-Thurawanah: al-Awbiah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakisah, 2010. Hal: 46-54).

Bagaimana Mereka Menyikapi Wabah

Dalam menghadapi Thaun Amwas, langkah yang diambil kaum muslimin sesuai dengan arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi wabah. Yaitu mengadakan isolasi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذا سَمِعْـتُم به بأَرْضٍ فلا تَـقْدَمُوا عليه، وإذا وَقَعَ بأَرضٍ وأنتُم بها، فلا تَخْرُجوا فِـرارًا منه

“Apabila kalian mendengar wabah ada di suatu negeri, janganlah kalian mendatanginya. Dan apabila wabah tersebut berada di suatu negeri sementara kalian berada di dalamnya, janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.” [HR Bukhari]

Rasulullah tidak hanya mencukupkan jangan memasuki daerah yang terkena wabah. Tapi beliau juga menyatakan agar orang yang daerahnya terkena wabah untuk tidak keluar dari daerah tersebut. Inilah yang dikenal dengan isolasi. Kalau kita renungkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup 15 abad yang lalu sudah mengenal teknik ini. Padahal belum pernah ada yang melakukan sebelumnya. Ilmu kedokteran pun belum sepesat sekarang kemajuannya. Tapi beliau telah mengenal teknik ini untuk pencegahan penyebaran wabah. Hal ini tidak lain datang dari wahyu. Dan ini secara logika saja, sudah membuktikan kalau Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang nabi.

Dan Umar mengamalkan apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Ubaidah bin al-Jarah dan sahabat-sahabat lainnya yang tinggal di Syam, mereka tetap berdiam di sana.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa wabah tersebut hilang saat Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu diangkat sebagai gubernur Syam. Ia berkhotbah di hadapan masyarakat, “Sekalian masyarakat, sesungguhnya penyakit ini kalau terjadi, ia akan menyala bagai nyala api. Karena itu, pergilah kalian menuju gunung-gunung.” Amr pun keluar dan diikuti oleh masyarakat. Mereka menyebar di pegunungan. Sampai akhirnya Allah angkat wabah tersebut dari mereka. Apa yang dilakukan Amr pun sampai kepada Umar, Umar tak menyalahkan kebijakannya tersebut.

Ini juga yang dikenal sekarang dengan istilah social distancing. Itu pun sudah pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Kebijakan ini ditempuh oleh Amr sehingga orang yang sakit bisa terpisah dari mereka yang sehat. Mereka tidak berkumpul untuk mengurangi penularan. Dan tidak membinasakan semua penduduk Syam (Ali Muhammad ash-Shalabi: Sirah Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab Syakhshiyatihi wa ‘Ashrihi, 2005. Hal: 231-232).

Di masa berikutnya, metode yang dilakukan kaum muslimin dalam menghadapi wabah terus berkembang. Di masa Mamluk, selain menggunakan teknik isolasi, para pembesar kerajaan juga menyiapkan badan khusus untuk mengurusi jenazah yang terjangkiti wabah. Karena sebagian orang takut tertular ketika bersentuhan dengan korban. Ditambah korban yang jatuh sangat banyak jumlahnya dan dalam waktu yang bersamaan. Terkadang sampai tiga hari, jenazah belum juga diurus. Sehingga dibutuhkan pelatihan khusus dan Lembaga khusus untuk mengurusi prosesi jenazah agar kehormatan mereka tetap terjaga (Mubarak Muhammad ath-Thurawanah: al-Awbiah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakisah, 2010. Hal: 55).

Salah satu catatan sejarah yang menarik dalam penanggulan wabah di masa Islam adalah selain membuat kebijakan dan usaha riil, masyarakat terus diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, berdoa dan berharap hanya kepada-Nya di waktu tersebut, mengajak masyarakat untuk bertaubah dan beristighfar kepada Allah dan terus meningkatkan ibadah. Aksi nyata yang dilakukan sebagian masyarakat adalah menutup tempat-tempat khomr diperjual-belikan. Dan menjauhi perbuatan keji dan mungkar (Mubarak Muhammad ath-Thurawanah: al-Awbiah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakisah, 2010. Hal: 57).

Pelajaran

Pertama: Banyak menentang isolasi dan social distancing atau peraturan tetap di rumah. Dengan alasan sakit dan kematian itu di tangan Allah. Kalau mau sakit atau mati, ya tetap akan sakit dan mati walaupun di rumah. Orang-orang seperti ini diingatkan dengan firman Allah:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [Quran Al-Baqarah: 195].

Kita mengamalkan ayat ini disertai sikap ridha dan pasrah terhadap takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.

Kedua: Wajib melakukan usaha pencegahan. Dengan keyakinan kita lari dari takdir Allah menuju takdir yang lainnya.

Ketiga: Kita meyakini bahwa dalam musibah wabah ini terdapat pahala jika kita bersabar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Dan kita pun berhadap bagi mereka yang wafat karena virus covid-19 ini, terutama dari kalangan medis dan pihak-pihak yang berjasa, diganjar sebagai syuhada.

Keempat: wajib menjauhi tempat-tempat yang terdapat wabah. Apalagi tempat tersebut sudah divonis sebagai zona merah. Bagi mereka yang tempatnya terdampak wabah, maka tidak diperbolehkan keluar dari sana.

Kelima: Mempercayakan informasi terkait wabah ini kepada pihak-pihak yang berwenang. Baik dari pemerintah ataupun tim medis. Jangan mudah menyebarkan informasi yang tidak diketahui asal-usulnya.

Sumber : https://kisahmuslim.com/6466-wabah-dalam-sejarah-islam-2-2.html