Jakarta, CNN Indonesia — Pada Desember 1880, penyair Prancis Arthur Rimbaud tiba di gerbang kota Harar, Ethiopia. Ia telah menempuh perjalanan yang begitu panjang, melintasi Teluk Aden dengan perahu layar dan menunggang kuda di tengah Gurun Somalia selama 20 hari.
Rimbaud berdiri menghadap tembok tinggi yang menutupi kota kecil itu. Umurnya masih sangat muda, 26 tahun. Namun ia telah berhenti menulis puisi sejak umur 21 dan memulai pengembaraan yang akan membawanya ke Eropa, Asia, Timur Tengah, dan akhirnya Afrika.
Perjalanannya juga dikarenakan rasa sedih yang mendalam, setelah rekan hidupnya yang juga seorang penyair Prancis, Paul Verlaine, bunuh diri di kamar hotel.
Harar berada sekitar 3.000 mil dari ibu kota negara Adis Ababa. Kota ini tidak kalah tandus dan miskin dengan kota-kota lain di Ethiopia.
Namun Harar telah ada jauh sebelum Ethiopia merdeka, bahkan lahir sekitar satu millennial sebelum Adis Ababa.
Setelah Terusan Zues dibuka oleh Napoleon Bonaparte pada pertengahan abad ke-18, kota ini mulai ramai dikunjungi para peziarah.
Rimbaud menetap selama 10 tahun di Harar, bekerja sebagai pedagang kopi.
Dikutip dari Alif.id, 30 tahun sebelum Arthur Rimbaud tiba, Sir Richard Burton, orientalis awal, mata-mata, penerjemah pertama Seribu Satu Malam, sekaligus diplomat Inggris telah sampai ke kota kecil di Afrika Timur itu dengan menyamar sebagai ilmuwan muslim.
“Kopi Harar telah begitu dikenal di pasar Eropa,” tulis Burton dalam catatannya.
Tidak mengherankan jika Burton harus berkelana begitu jauh untuk merasakan kopi Harar. Mungkin ia punya pertanyaan; bagaimana sarjana-sarjana Muslim bisa sangat kuat begadang untuk menulis kitab?
Kopi adalah teka-teki yang susah dipisahkan dari peradaban luhur Islam. Dan asalnya, tentu saja, dari Ethiopia.
Dari cerita heroik abad ke-tujuh saat ada kuda yang bisa berlari kencang setelah memakan biji kopi, hingga kisah-kisah para sufi, semuanya berasal dari satu kopi yang sama: Arabika yang ditanam di dataran tinggi Ethiopia.
Toleransi beragama di Harar
Harar memiliki pertautan yang panjang antara Islam.
Meski agama mayoritas Ethiopia adalah ortodoks, Harar menjadi pengecualian.
Hingga hari ini berdiri tidak kurang dari 110 masjid berdampingan dengan 102 kuil, Harar seringkali disebut sebagai kota suci Islam keempat dan kota para wali (Madinah al-Auliya).
Dalam rekaman kitab Fath Madinat Harar, kota ini pertama kali didatangi oleh seorang sufi dari Semenanjung Arab, Abadir Umar al-Rida dan menetap di sana sekitar 1216 M.
Abadir mendapat sambutan hangat dari Suku Harla, Gaturi dan Argobba.
Kakak Abadir, Fakhruddin, kemudian mendirikan kesultanan Mogadishu dan salah satu keturunannya mendirikan kesultanan Hadiya.
Pada abad pertengahan, Harar menjadi bagian dari kesultanan Adal, dan menjadi ibukota pada 1520 di bawah sultan Abu Bakar bin Muhammad.
Abad ke-16 merupakan zaman keemasan kota itu. Budaya berkembang, banyak penyair tinggal dan menulis di sana.
Selain kopi, kota itu mulai dikenal sebagai perajin tenun, keranjang, dan penjilidan kitab.
Perdagangan perlahan merosot ketika Prancis membangun rel kereta Adis Ababa-Djibouti yang mengalihkan jalur dagang lebih ke utara di pegunungan Harar dan sungai Awash.
Hyena dan warisan kedamaian
Kota ini kian terpuruk setelah menjadi wilayah pertikaian dagang antara Inggris dan Prancis, berikut peperangan yang menyebabkan kemiskinan.
Harar tidak menjadi lagi kota tersibuk yang menghubungkan seluruh daratan Ethiopia, Afrika, Semenanjung Arab, dan Eropa.
Meski demikian, Harar tetap menjadi rumah yang damai bagi penganut agama ortodoks dan Islam; masjid dan kuil berdampingan tanpa pernah bertikai. Manusia dan hyena hidup berdampingan. Bahkan penganut sufi dan wahabi bisa hidup akur.
Hyena telah hidup selama berabad-abad di luar tembok kota. Setiap hari dan perayaan besar Islam, para sufi akan memberi mereka daging sisa.
Bahkan ketika praktik tersebut kini menjadi daya wisata, para sufi justru menjadikan hyena sebagai symbol penting dalam pengajaran mereka.
Hyena kini menjadi semacam hewan peliharaan yang mempertahankan Harar dari hewan buas lainnya.
Pada salah satu rumah yang pernah ditinggali Rimbaud, kini dijadikan sebagai museum untuk penyair yang mati muda pada umur 37 tahun tersebut.
Di rumah itu terpajang lukisan wajahnya dan foto-foto perjalanannya.
Sebuah jalan di Harar dinamai Charville Ave, sebagai penghormatan kepada Rimbaud yang berasal dari desa pertanian Charville, Prancis.
Tak jauh dari sana, sebuah rumah besar bergaya India yang penuh hiasan didirikan sebagai museum pribadi oleh Abdela Sherif.
Sekeliling dindingnya bertuliskan ayat Al-Qur’an, koin-koin kuno, perhiasan, dan pakaian yang mengindikasikan kota tersebut sebagai persimpangan perdagangan orang-orang Armenia, Portugis, Arab, dan India yang membawa kopi, kapas, gading, tembakau, dan budak.
Kota ini, pada 2006 lalu, dinobatkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Tiga tahun sebelumnya, pada 2003, juga mendapatkan penghargaan dari UNESCO sebagai kota terdamai di dunia.
Di penghujung hidupnya, ketika terbaring di rumah sakit Marseille pada November 1891, Rimbaud masih terus mengenang Harar.
“Aku berharap bisa kembali dan hidup selamanya di sana.”
Bahkan di masa sekaratnya, Rimbaud masih mendiktekan kepada penulisnya, “Beritahukan padaku, kapan aku bisa menaiki perahu untuk berlayar ke sana.”
Hingga menghembuskan napas terakhir, dia tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah yang memberikannya kedamaian.